‘Abi lebih suka tinggal di kota atau di desa?’, Tanya anakku.
‘Tinggal di desa, nak!’, jawabku mantap.
Aku memang suka tinggal di desa. Bukan membenci kota dan memang tidak terlalu memiliki sumber dana untuk tinggal di kota. Karena 2 (dua) factor itu – kondisi keuangan dan kecenderungan- aku memilih tinggal di kawasan Deresan. Dusun kecil yang memiliki sejarah lumayan panjang itu menjadi pilihan sadar tempat tinggal kami. Tempat kami menyemai cita-cita besar kami. Deresan –dusun kecil di dekat gua Selarong itu, gua perlindungan pangeran Diponegoro- menjadi pilihan sadarku sebagai tempat kami menuliskan sejarah.Tidak ada keistimewaan yang luar biasa dengan Deresan bagi kebanyakan teman. Satu-satunya –sampai saat ini- pegawai DJP yang tinggal di sana. Jarak yang 12 km kerap membuat kawan-kawan mengernyitkan dahi. Situasinya yang jauh dari peradaban kerap membuat pegawai Pajak yang seharusnya tidak suka. Tapi itu tidak menghalangi kami untuk menyemai cita-cita di sana. Itulah rumah kami. Tempat kami menggapai surga.
Untuk kami…
Ketika kawan-kawan seiring memilih tempat tinggal yang seharusnya. Kamipun memilih tempat tinggal kami yang seharusnya menurut kami. Kami tidak butuh akses hiburan malam, maka Deresan adalah pilihan kami. Kami tidak terlalu sedih dengan alamat yang memakai RT dan RW, maka Deresan adalah pilihan yang tidak mengganggu. Kami tidak risau dengan nama Kabupaten- ‘Mbantul… terkesan ndeso’, maka kami memilih Deresan. Kadang kami melawan, ‘Orang kota memang butuh suasana desa, Dan orang yang kurang kota memang membutuhkan tambahan unsur kota’. Maaf, Cuma untuk menguatkan kami. Semoga Allah mudahkan urusan ini… Amin
Dengan segenap doa dan pasrah, kami memilih Deresan. Selama Allah ridho dengan kami, kami diajari untuk tidak takut berbeda dengan kawan seiring. Semoga Allah mudahkan urusan ini.Tapi ternyata ini bukan Cuma urusan kami. Ini juga urusan anak-anak. Anak-anak risau. Setidaknya kami menangkap kerisauan itu. Itulah yang menyebabkan kami tidak membelikan buku tentang farm, jungle, desa dan sejenisnya. Bagi mereka buku tentang peternakan tidak terlalu istimewa. Binatang yang bernama kambing bukan khayalan. Kambing adalah sesuatu yang mereka saksikan, bias mereka sentuh dan mereka rasakan aromanya. Sapi bukan hal asing. Buku tentang Jungle, terasa benar-benar buku terjemahan. Di buku itu ada beberapa binatang yang justru khayalan. Contoh ; Sigung. Sigung adalah binatang yang tidak ada di Indonesia. Ada binatang lain yang memiliki kasus semacam ini. Buku tentang desa juga bukan pilihan kami. Sungai kecil, sawah, ladang, pohon pisang, singkong, semak adalah sesuatu yang mereka kenal di keseharian.Kami membelikan buku semacam ‘The City’, Airport, Station, Hotel dan tema sejenis. Dengannya kami mengenalkan tentang pesawat, escalator, hotel, restoran, traffic light, kantor pos besar, terminal dan lain-lain. Secara bercanda kami sering berkata,’ Rihlah? Rihlah kami ke kota…’. Tidak selamanya ke kota, kadang kami ke pantai Depok (dekat parangtritis, radar TNI AU di dekat pantai Glagah, wana wisata UGM, makan raja-raja di Imogiri dan sejenisnya. Tapi titik tekan kami adalah kota dan segenap peradaban kota.Kami ingin anak-anak mengenal kota tetapi tidak tinggal di kota.Sekali lagi, ternyata ini bukan soal kami semata. Ini juga soal anak-anak. Anak-anak berhadapan dengan sterotipe bahwa desa adalah buruk dan tidak bergengsi. Sedangkan kota adalah sesuatu yang hebat.Sterotipe adalah penyakit komunikasi. Pengambilan kesimpulan tanpa kecukupan data. Sungguh ada banyak hal desa yang bagus untuk kita. Dan tentu ada banyak hal bagus di kota.Mendapatkan hal bagus dari keduanya –desa dan kota- adalah pilihan cerdas.Untuk kami –yang memilih tinggal di desa-, kami harus mengenalkan pola pikir dan cara hidup kota yang bermanfaat. Kami hanya harus menyediakan bacaaan yang sedikit mengenalkan kota. Kami hanya harus jujur terhadap perbedaan desa dan kota. Semuanya agar anak-anak menjadi penduduk desa yang memiliki modal untuk meraksasa.Pada saatnya, kami mengenalkan sisi gelap kota dan sisi gelap desa. ‘Abi, ini penduduk kota yang biasa ya? Yang kalau musim hukan kena banjir?.’, kata anak-anak. ‘Ini anak-anak kota yang tidak memiliki rumah’, kata mereka di depan rumah singgah.
Sisi gelap desa juga kami tunjukkan. Perasaan inferior beberapa kawan mereka yang ditampakkan dengan malu, menunduk dan menjawab dengan jawaban yang sebenarnya sulit disebut sebagai jawaban. Kemiskinan juga ada di desa. Ketinggalan informasi dan lain-lain.
Maka, -bagi kami- mendapatkan hal bagus keduanya adalah keharusan. Adalah tugas kami membuat anak-anak jujur dan siap menjalani hidup.
Kami ingin anak-anak jujur. Jujur melihat hal positif kota dan hal negative kota serta jujur dalam menilai hal positif dan negative desa. Kami ingin anak-anak tidak termanipulasi oleh orang kota yang kurang kota dan tak menyembunyikan kelemahan di balik sebutan ‘orang desa’.
Jika kami bisa menertawakan orang kota yang khawatir kehilangan kekotaannya dengan panik. Dengan sesuatu yang tidak substansial. Kami ingin anak-anak juga bias. Jika kami dapat miris dengan ketertinggalan desa, kami ingin anak-anak memburu kelebihan kota dengan dewasa dan merdeka.
Semoga Allah mudahkan urusan ini.
Eko Novianto Nugroho dalam sebuah forum diskusi di dunia maya….
GRIYA HILFAAZ Toko Busana Keluarga Muslim |
0 komentar:
Posting Komentar