Dialog Ruang dapur, “Bi, apa aku juga mataharimu?”. “Tentu Mi, engkaulah Matahari bagiku dan bagi anak-anak, bukankah engkau terbenam di kala malam tiba….”
Pagi itu – Ahad, 17 Agustus 2003 – istri saya menunjukkan salah satu artikel dalam majalah UMMI edisi terbaru. Di sana terpampang sebuah judul ‘Istriku, matahariku’. Artikel pada Kolom Ayah tersebut menjadi bahan cerita kami di sela-sela persiapan melepas anak-anak untuk upacara bendera. Sang penulis artikel – menurut istri – bercerita tentang aksi akrobatnya dalam mengasuh lima orang anaknya tanpa sang ibu yang sedang mengikuti sebuah acara. Dan di akhir kolom itu, sang penulis memuji istrinya sebagai Matahari yang selalu bersinar, menerangi dan menghangatkan setiap jiwa.
Artikel tersebut menjadi bahan dialog kami. “Bi, apa aku juga mataharimu?”. “Iya Mi, kamu adalah Matahari bagiku dan bagi anak-anak. Bukankah engkau terbenam di kala malam tiba….”
Kami ‘terpaksa’ menutup dialog singkat tersebut dengan senyum sejuta makna, karena para pasukan kami telah siap dengan ‘baju tempurnya’ dan hanya menunggu saat pemberangkatan oleh para ‘komandan’ ke ‘medan tempur’.
Mungkin anda memiliki perumpamaan yang lain untuk pasangan anda. Atau – boleh jadi – anda merasa tak perlu memberikan sebuah perumpamaan kepada pasangan anda. Anda merasa cukup mencintainya, apa adanya dan tanpa perumpamaan. Semuanya memang terserah anda.
Namun ada yang tidak terserah anda. Mendidik anak-anak kita menjadi seseorang yang bermakna bagi negara dan agama ini, bukanlah sesuatu yang terserah kita. Tugas itu lebih sebagai kewajiban daripada sebagai sebuah pilihan.
Risalah sederhana ini mungkin tidak akan romantis dan jauh dari getar-getar kemesraan. Sejujurnya saya ingin menulis tentang romantisme dan kemesraan. Bahkan saya ingin menyengaja menggunakan istilah yang – saya anggap – romantis dan mesra. Konon anda – para ibu – menghargai kemesraan dengan sangat baik. Tetapi tidak. Saya putuskan saya tulis seperti ini. Apa adanya.
Mungkin saja saya telah ‘bunuh diri’ dalam menulis buku ini. Karena tidak selalu membenarkan dan membela anda. Namun, karena saya juga sedang berusaha jujur pada diri sendiri tentang peran-peran kita – baik sebagai suami maupun istri dan sebagai ayah dan ibu dari anak-anak kita – , maka saya mohon maaf jika pada ruang berikut ini tersaji juga sesuatu yang tidak nyaman bagi anda. Saya juga mohon maaf jika risalah ini nantinya tidak saja menyajikan pujian bagi anda. Melainkan juga ada sajian yang bernuansa sindiran dan kritik. Ini saya lakukan semata untuk sebuah keberanian untuk melihat keadaan kita secara obyektif.
Di buku ini, Alhamdulillah, saya berkesempatan menulis tentang tarbiyah akhwat, tentang pendidikan anak-anak, tentang poligami, tentang rumah kita, tentang perempuan karier, tentang pengelolaan keuangan, tentang proses penyesuaian diri, tentang sex, tema pacaran, tentang selingkuh, tentang peran sosial, tentang korupsi, tentang masjid, tentang sekolah anak-anak, dan tentang hal remeh lainnya. Di buku ini pula saya berkesempatan menatap perempuan sebagai istri, sebagai anak, sebagai ibu, sebagai sahabat, dan sebagai kompetitor.
Risalah dengan nada ini selayaknya ditulis oleh seorang perempuan hebat dan ternama. Bisa mbak Neno, atau Miranda Risang Ayu, atau ibu Doktor Ratna Megawangi. Atau oleh perempuan hebat lainnya. Bukan oleh saya. Setidaknya saya kalah perempuannya dibandingkan dengan mereka. Dan sekaligus kalah hebat dan ternamanya dibandingkan dengan mereka.
Tetapi setidaknya saya telah ditempatkan Allah swt di antara perempuan-perempuan. Ada ibu saya yang saya hormati. Ada adik perempuan satu-satunya yang sangat saya sayangi. Ada istri satu-satunya yang ajaib. Dan ada 4 (empat) putri cantik yang harus saya pertanggungjawabkan dihadapan-Nya.
Sekian tahun perempuan-perempuan itu mengelilingi. Sayang rasanya jika pelajaran-pelajaran dari mereka tercecer tanpa jejak. Dan inilah jejak-jejak kecil dari pengalaman dikelilingi perempuan-perempuan yang saya cintai.
Saya mohon maaf jika naskah ini juga agak ‘subversif’. Mungkin ini adalah semacam upaya pembelajaran untuk mendekati kritik – tidak saja dari sisi hormat dan sayang tidaknya pasangan kita kepada kita namun juga – dari kesanggupan kita untuk mengkonsumsinya sebagai masukan. Meski mungkin agak sulit untuk masuk. Namun bukanlah sebuah masukan, jika kita tidak memasukkan kritik tersebut ke dalam kesadaran dan ke dalam hati kita. Mungkin ini tidak pantas dan tidak layak. Mohon maaf jika demikian. Tetapi setidaknya saya telah tulis sesuatu untuk anda.
Semoga risalah ini menyemangatkan para sahabat, menghangatkan istri, merupakan bakti untuk ibu, dan menimbulkan rasa aman pada anak-anak. Amin.
===================================================================
Judul : Engkaulah Matahariku
Penulis : Eko Novianto Nugroho (Pengarang Sudahkah Kita Tarbiyah)
Penerbit : Pustaka Fahima
Cetak : Cetakan Pertama April 2009
Buku ini ibarat mozaik yang berserak, di belantara kehidupan kaum muslimin yang ingin menjadi bagian dari hizbiyyah rabbaniyah, atau sering disebut spesifik harokah tarbiyah. Nyatalah bahwa penggal-penggal kisah yang diilustrasikan oleh penulisnya, menunjukkan bahwa pelaku tarbiyah tersebut juga manusia biasa, ada emosi yang kadang campur aduk, antara kagum, appreciate atau kadang kecewa, dan marah. Wajarlah
Pak Eko menulisnya tidak dari balik buku-buku tebal di perpustakaan, saya yakin sepenuhnya bahwa apa yang beliau tulis adalah hidupnya sendiri, hidup istri dan anak-anaknya, hidup sahabat-sahabatnya, atasannya, dan orang-orang disekelilingnya yang tergambar direkat oleh cinta yang tak lekang oleh hantaman ujian dan tak lapuk oleh guyuran ruang dan waktu.
Pak Eko mempunyai skill sastra yang terpendam, diluar dugaan saya. Penanya menari-nari kadang berlarian kesana kemari yang menunjukkan banyaknya hal yang harus ditumpahkan pada khalayak pembaca, khususnya pada kaum ibu, ummahat dan wanita secara umum.
– Siti Urbayatun, S.Psi, M.si (Pengasuh rubric keluarga di eramuslim.com dan Dosen Psikologi di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Kebetulan saya mengenal pribadi mas eko yang kami akrab panggil ekonov. Beliau adalah murabbi kami secara tidak langsung melalui forum diskusi lewat dunia maya. Walaupun saya tidak melihat pribadinya secara langsung, tetapi saya mencintai pribadinya, tulisannya, dan nasehat-nasehatnya.
GRIYA HILFAAZ Toko Busana Keluarga Muslim |
0 komentar:
Posting Komentar